BENARKAH MoU HELSINKI MENJADI PIJAKAN ACEH MERDEKA...???


Ancaman Disintegrasi Bangsa

Eskalasi ketegangan di Aceh pasca MoU Helsinki memang mereda. Namun akankah MoU Helsinki menjadi kendaraan perjuangan politik menuju Aceh Merdeka.

MoU Helsinki - biasa disebut Kesepakatan Helsinki - yang disepakati oleh Pemerintah RI dan GAM merupakan titik awal pembangunan Aceh damai dalam kerangka NKRI. Perjanjian antara pihak yang bertikai, yaitu GAM dan Pemerintah RI, dibuat berdasarkan prinsip hukum umum (general principles of law) yang mengikat para pihak. Sebagaimana disuratkan dalam Pasal 26 Konvensi Wina 1969: “Tiap-tiap perjanjian yang berlaku mengikat negara-negara pihak dan harus dilaksanakan dengan itikat baik (in good faith).”

Memang, memasuki tahun ke-10 ini, kesepakatan tersebut telah membuat Aceh berubah drastis. Roda perekonomian dan gairah masyarakatnya tampak begitu hebat. Bahkan mendiang tokoh kharismatik GAM, Hasan Tiro, ketika mendaratkan kakinya pertama kali di Aceh pada 2008 silam, tak sanggup menutupi kekagumannya. “Memang, biaya perang sangat mahal, akan tetapi biaya memelihara perdamaian jauh lebih mahal. Peliharalah kedamaian ini untuk kesejahteraan kita semua,” ujarnya.

Apa yang dinyatakan Hasan Tiro mengesankan, kemungkinan sangat kecil bagi GAM untuk melanjutkan pemberontakan bersenjata. Namun, sepertinya pidato pertama dan terakhir Hasan Tiro pasca Kesepakatan Helsinki tersebut tak sejalan dengan kenyataan. Sebagian besar mantan kombatan GAM, yang kini tergabung dalam KPA (Komite Peralihan Aceh), masih gencar berkampanye bahwa, meski perjuangan bersenjata telah usai, perjuangan politik harus berlanjut sampai semua cita-cita dicapai.

Hal ini dibuktikan oleh Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf sebagai Gubernur dan wakil Gubernur Aceh periode 2012-2017. Sampai sekarang mereka berdua tak mau menyurutkan langkah terhadap permintaan pemerintah pusat agar pemerintah Aceh tak menggunakan bendera dan lambang sebagai simbol resmi pemerintahan Aceh.

Bila dilihat dari butir-butir Kesepakatan Helsinki, Aceh memang berhak memiliki lambang, bendera, dan himne sebagai simbol wilayah. Masalahnya, aturan tersebut tidak sampai ke detail. Inilah mengapa pemerintah Indonesia mengacu pada PP. No. 77 tahun 2007 tentang larangan bagi GAM untuk memakai seragam maupun menunjukkan emblem atau simbol setelah Kesepakatan Helsinki ditandatangani. PP ini ditolak oleh gubernur Aceh karena dianggap di luar kesepakatan Helsinki.

Perasaan setara dengan pemerintah Indonesia jelas tak lepas dari kenyataan bahwa Kesepakatan Helsinki memberi berbagai hak istimewa kepada Aceh. Di antaranya  adalah Aceh boleh memiliki partai politik lokal, dan berhak menentukan suku bunga sendiri tanpa perlu mengikuti Bank Indonesia. Ini jelas menyuratkan bahwa Aceh, bila mampu, boleh memiliki bank sentral sendiri di luar BI. Selain itu, kerjasama antara pengusaha asing dengan Aceh tidak perlu izin dari pemerintah pusat, dan pemerintah Aceh boleh langsung mencari dana di luar ngeri.

Nah, jika kelak ternyata Pemerintahan Aceh mendapatkan semua apa yang tertuang dalam Kesepakatan Helsinki, bukankah ini berarti Aceh telah merdeka secara de facto?

Pertanyaan ini memang masih sulit dijawab, tapi manuver politik para mantan pejuang GAM, hampir semuanya mengarah ke satu titik, yaitu penentuan nasib sendiri seperti telah dilakukan oleh Kosovo. Mereka tampaknya paham betul bahwa prinsip menentukan nasib sendiri ini telah menjadi isu HAM sangat penting di tingkat internasional. Prinsip ini bahkan telah memperoleh status quasi konstitusional di Majelis Umum PBB.

Para pendukung prinsip ini mengacu pada kenyataan, telah banyak wilayah jajahan, terutama milik bangsa Eropa, sukses membebaskan diri dan menjadi negara berdaulat. Untuk Aceh dan Papua, menurut menteri pertahanan Ryamizard Ryacudu, sudah memiliki hampir semua persyaratan yang dibutuhkan untuk menjadi negara merdeka. Mereka sudah memiliki pemerintahan, wilayah, tentara, lagu kebangsaan, dan bendera. Satu-satunya persyaratan yang belum dimiliki, di mata Ryamizard, adalah pengakuan internasional.

Di atas kertas, bagi Aceh dan Papua, mencari pengakuan internasional bukanlah perkara mudah. Ini karena pada 23 Desember 1949 Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Pengakuan ini juga menegaskan bahwa seluruh bekas wilayah jajahan Belanda menjadi milik Indonesia. Pengakuan tersebut diakui oleh PBB sehingga teramat sulit Aceh dan Papua untuk mengingkarinya.

Namun, sebagaimana tampak secara kasat mata di lapangan, perjuangan politik GAM seolah tak terganggu oleh Kesepakatan Helsinki dan sebagainya. Dengan kata lain, jalan damai ini masih berpotensi menjadi perjuangan bersenjata lagi. Hal ini jelas PR besar pemerintahan Jokowi-JK sebagai orang yang kini paling bertanggung jawab terhadap keselamatan dan keberlangsungan hidup Indonesia.

Harapan rakyat tertentu saja mereka berdua bakal mampu menyelesaikan PR tersebut dengan baik. Merdeka....!!!



0 Response to "BENARKAH MoU HELSINKI MENJADI PIJAKAN ACEH MERDEKA...???"

Post a Comment