SENJA DALAM SECANGKIR KOPI

Senja tiba lagi dalam secangkir kopi. Lalu merambat turun pada tetes-tetes hujan di pekarangan. Sepasang mataku terpejam sambil menghirup dalam-dalam aroma petrichor[1] yang kurindukan. Anganku melayang pada suatu pertemuan. Pada senja-senja masa lalu. Padamu. Sebelum kita terempas dalam kebisuan. Meninggikan ego-ego yang kian membatu, lalu terkapar sekarat dalam diam.

Sederet nada berdenting dari kotak musik di sudut ruangan. Melambungkan angan, melintasi segala kenang. Meliuk dan menukik, lalu melembut seirama hembusan nafas. Menikah dengan aroma kopi dan tetes-tetes yang menggetarkan rindu. Jiwa kian samar, tersesat hasrat luruh dalam dekapan rasa. Seolah enggan beringsut dari mimpi yang telah pergi. Kamu.

Aroma kopi mengajakku membuka mata. Senja masih berada di dalamnya. Bercampur kenangan yang meruah tentangmu. Kusesap perlahan sambil menatap ke ujung jalan. Berharap kamu muncul tiba-tiba seperti keajaiban dan merengkuhku dalam pelukan. Seperti senja yang sudah-sudah. Ketika tembok-tembok belum berdiri angkuh dan amarah belum menjelma menjadi badai.

Lihatlah! Kopi ini hitam. Sepekat rindu yang membelengguku. Bukan untukmu. Sengaja kubuat hanya untukku. Tolong, katakan padaku. Sudahkah kamu menghirup kopi senja ini? Atau, kamu masih mengingkari kehadiran senja dalam secangkir kopi?

Sepasang mataku mulai terpejam. Tubuhku mulai membeku. Tak lama lagi, nafasku akan terhenti. Kemarilah, bisikkan padaku. Sudahkah kamu mengenangku hari ini?

0 Response to "SENJA DALAM SECANGKIR KOPI"

Post a Comment