KOPI, BUDAYA DAN MENULIS


Oleh : Muhamad Hamka*

Gayo selalu menarik untuk diulas-diskusikan. Tidak hanya soal relasinya yang acap kali timpang dengan Aceh (pesisir), namun juga soal budayanya yang ikonik; sekadar contoh, Seni Didong—yang menurut pendapat saya—merupakan karya seni adiluhung, Tari Saman yang memukau mata dunia, hingga sistem pemerintahan demokratis Sarak Opat yang hadir jauh sebelum demokrasi digemakan di langit benua biru. Dan yang paling familiar menyapa warga dunia, tentu saja kopi gayo arabika.

Kopi gayo arabika, misalnya. Aroma dan cita rasanya meliuk menembus jauh ke pelbagai belahan dunia. Para penikmat dan pebisnis kopi mondial rela menghabiskan waktu serta fulus yang banyak, demi mendapatkan biji kopi gayo arabika langsung ke tanoh Gayo. Kopi, yang merupakan nafas kehidupan hampir semua warga masyarakat Aceh Tengah dan Bener Meriah telah menjelma menjadi identitas yang inheren dengan kehidupan masyarakat Gayo. Maka membincangkan Gayo, tanpa kopinya, seperti kita makan pucuk jipang tanpa garam, hambar.

Begitupun dengan seni budaya Gayo. Bagi urang Gayo, budaya sudah menjadi bagian yang integral dalam aktus kehidupan. Budaya, bahkan sudah bersenyawa dalam kemanusiaan urang Gayo. Sehingga tak heran, kalau kita akan dengan mudah menjumpai “lembaran-lembaran budaya” dalam keseharian urang Gayo. Singkatnya, budaya sudah menjadi semacam way of life yang seiring serta sejalan dengan nilai-nilai Islam.

Lalu, apakah potensi Gayo hanya berhenti pada kopi dan budayanya? Maka saya dengan tegas akan menjawab tidak. Gayo, menyimpan selaksa potensi dalam dunia menulis. Sepanjang yang saya ketahui, Gayo punya banyak penulis produktif, baik fiksi maupun non fiksi. Dan saya mulai mengenal Gayo secara sungguh-sungguh, justru dari tulisan para penulis Gayo ini. Saya masih ingat saat tinggal di Banda Aceh, kami berlangganan koran Serambi Indonesia. Salah satu rubrik yang paling saya sukai adalah kolom opini.

Pada suatu pagi, saya menemukan sebuah tulisan yang menarik dari Yusra Habib Abdul Gani dikolom opini. Kalau saya tak salah ingat judul tulisan beliau waktu itu adalah To’et. Cara pak Yusra Habib mendeskripsikan tentang seniman hebat nan menyejarah ini, membuat saya sungguh tertarik. Narasi yang dipaparkan oleh intelektual Gayo/Aceh ini sangat reflektif dan mencerahkan. Ada gugatan, keprihatinan, sekaligus renungan dari Tengku Yusra Habib untuk masyarakat Gayo melalui artikel kontemplatif ini. Artikel berharga tersebut saya klipingkan, namun pada suatu waktu dipinjamkan oleh teman istri, dan sayangnya hingga saat ini tak ada kabarnya lagi.

Sejak membaca artikel tersebut, entah mengapa sebagaian hati saya mulai jatuh cinta dengan Gayo. Tulisan berikutnya yang membuat saya semakin ingin mengenal Gayo lebih dalam lagi adalah opini Win Wan Nur yang saya baca di website Aceh Kita. Saya sudah lupa judul tulisan tersebut, tapi substansinya saya masih ingat dengan baik, yakni soal asal-usul nama kota Takengon. Dimana dalam tulisanya, intelektual muda Gayo ini lebih memilih Takengen daripada Takengon. Yang membuat saya tertarik dengan tulisan ini adalah cara beliau melontarkan pikiranya. Saya dapat menangkap dengan jelas bahwa bang Win ini punya pengetahuan yang luas. Narasi dan deskripsi yang ia bangun sangat kuat. Saya mulai berfikir saat itu, bahwa orang Gayo ini cerdas-cerdas, tetapi kenapa mereka tak begitu kelihatan dalam percaturan dinamika sosial, politik, budaya dan pendidikan di Aceh? Saya menjumpai jawabannya tidak berselang lama setelah itu.

Ada satu lagi tulisan yang membuat saya semakin yakin bahwa urang Gayo itu cerdas dan egaliter. Tulisan itu berasal dari sastrawan Gayo, Salman Yoga. Saya lupa judul cerpennya yang dimuat di Harian Aceh kala itu. Tapi saya sangat suka membacanya, hingga berulangkali. Dan setelah saya cari tahu, ternyata beliau ini urang Gayo dan sastrawan produktif yang sudah memperkenalkan Gayo secara luas.

Dengan cerita diatas saya mau mengatakan bahwa menulis adalah salah satu potensi besar sekaligus sarana efektif untuk memperkenalkan Gayo secara luas. Dan terbukti, potensi ini saya jumpai beberapa waktu yang lalu. Bukan sebuah kebetulan saya dimintai oleh panitia lomba menulis opini Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Cendekia untuk menjadi juri. Panitia membagi opini dalam dua kategori, umum/mahasiswa dan pelajar (SLTA/SLTP).

Secara kuantitas, jumlah tulisan yang masuk lebih banyak dari kelompok pelajar, bila dibandingkan dengan kategori umum dan mahasiswa. Sementara dari sisi kualitas tulisan, opini para pelajar ini tidak kalah jauh bila dibandingkan dengan opini dari kelompok umum. Para remaja hebat ini mampu menuangkan kegelisahanya dengan baik dalam tulisan. Dari semua opini yang ada, mereka mempunyai keprihatinan yang sama soal mirisnya dinamika pergaulan remaja di tanoh Gayo. Segmen fenomena yang disasar oleh para remaja ini pun sangat variatif. Mulai dari kebiasaan buruk pacaran, pemanfaatan teknologi yang tidak sehat dan tak tepat guna, kebiasaan remaja yang berjudi dilapangan pacu kuda, hingga kegelisahan soal krisisnya tutur Gayo dikalangan remaja.

Semangat para remaja hebat ini menuangkan pikiran dan gagasanya dalam bentuk karya tulis, membuat saya semakin yakin bahwa generasi muda Gayo punya potensi yang besar dalam menulis. Tinggal sekarang bagaimana para pemangku kepentingan serta segenap stakeholder yang punya kepedulian dan kepentingan, untuk mengendorse serta memfasilitasi potensi dan kegemaran menulis remaja hebat ini.

Saya meyakini, menulis adalah salah satu kanal yang bisa memperkenalkan Gayo secara luas, sekaligus sarana merawat peradaban Gayo. Sebagaimana adagium latin “scripta manent vebra volant” (yang tertulis akan abadi, yang terucap akan berlalu bersama angin). Untuk itu, agar peradaban Gayo tidak berlalu bersama angin, maka mari kita mendukung, mendorong, serta memfasilitasi para remaja hebat ini untuk berkarya lewat menulis.

*Pengamat Sosial Politik, tinggal di Takengon




sumber: Lintas Gayo

0 Response to "KOPI, BUDAYA DAN MENULIS"

Post a Comment